Bireuen/liputaninvestigasi.com - Gelombang perlawanan terhadap politik uang terus mencuat dalam dua bulan terakhir menjelang Pemilihan Kepa...
Bireuen/liputaninvestigasi.com - Gelombang perlawanan terhadap politik uang terus mencuat dalam dua bulan terakhir menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), bahkan ada yang berinisiatif mengadakan sayembara berhadiah bagi siapa saja yang berhasil menangkap pelaku politik uang. Slogan seperti "Boikot Serangan Fajar! Tolak segala bentuk iming-iming yang memengaruhi pilihan anda dalam Pemilu" digaungkan dengan lantang oleh berbagai elemen masyarakat.
Anehnya, isu politik uang ini justru redup saat Pemilihan Legislatif (Pileg) beberapa bulan lalu. Fenomena ini menimbulkan tanda tanya bagi pemuda Bireuen, Abdullah, yang merasa heran dengan sikap "diam" terhadap praktik serupa saat Pileg.
"Apakah politik uang hanya berlaku dan diperangi saat Pilkada saja? Mengapa tidak ada sayembara atau pengawasan ketat seperti sekarang ketika Pileg berlangsung?" tanya Abdullah penuh kritik, Jum'at (15/11).
Menurut Abdullah, pada masa Pileg yang lalu, para calon anggota DPRK, DPRA, DPR RI, hingga DPD juga menggunakan politik uang untuk meraih suara. Bahkan, beberapa calon menghabiskan ratusan juta hingga miliaran rupiah namun tetap gagal menduduki kursi legislatif karena keterbatasan dana kampanye.
"Untuk menjadi anggota DPRK saja, ada calon yang mengeluarkan dana 700 juta hingga 1,5 miliar. Bahkan, ada yang menghabiskan 800 juta tapi tidak berhasil terpilih. Bayangkan jika ini terjadi pada level DPRA atau DPR RI, tentu biayanya lebih fantastis. Hal ini membuktikan bahwa kursi jabatan sangatlah mahal," jelasnya"
Jika pada Pileg ada sayembara untuk menangkap pelaku politik uang, Abdullah yakin, penjara di Aceh akan penuh oleh pelanggar yang membagikan uang demi mendapatkan dukungan.
Namun, fenomena ini membuatnya bertanya-tanya, "Kenapa hanya mencuat di Pilkada? Di mana suara dan aksi nyata saat Pileg? Jawabannya, seperti kata pepatah, ‘Na anoe na bate, na ijih na ike’ – ada yang diuntungkan, ada pula yang dirugikan."
Abdullah juga menyentuh persoalan mendasar masyarakat yang terkesan tak bisa lepas dari politik uang. "90% masyarakat enggan memilih tanpa adanya imbalan. ‘Ada uang, ada suara’ menjadi prinsip yang ironis namun realistis di masyarakat saat ini."
Meskipun begitu, Abdullah mengingatkan bahwa praktik politik uang tetap tidak dibenarkan. Ia menekankan bahwa politik uang merusak demokrasi karena suara rakyat tidak lagi diberikan berdasarkan kualitas program atau visi-misi calon, melainkan berdasarkan uang atau hadiah yang diterima.
"Oleh karena itu, untuk menekan politik uang, pemerintah perlu merumuskan regulasi yang lebih ketat dan jelas terkait sumber dana kampanye. Masyarakat juga perlu diberi edukasi mengenai pentingnya mendukung calon yang memiliki integritas dan visi, bukan sekadar iming-iming materi," tambahnya.
"Semoga di masa depan, kesadaran akan pentingnya demokrasi tanpa politik uang bisa semakin mengakar, sehingga para pemimpin yang terpilih benar-benar membawa perubahan positif bagi masyarakat," pungkasnya.
(Nadar)