Jakarta - Gubernur Aceh nonaktif Irwandi Yusuf kembali membantah terlibat dalam kasus suap pengalokasian dan penyaluran Dana Otonomi Khu...
Jakarta - Gubernur Aceh nonaktif Irwandi Yusuf kembali membantah terlibat dalam kasus suap pengalokasian dan penyaluran Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) tahun anggaran 2018. Dia terus berkelit meminta jatah atas DOKA tersebut.
"Saya enggak tahu, saya enggak minta, saya enggak nyuruh dan saya enggak nerima," kata Irwandi usai diperiksa sebagai tersangka di Gedung KPK, Jakarta, Kamis, 19 Juli 2018.
Tak sampai di situ, mantan Juru Propaganda Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ini justru menantang KPK untuk membuktikan keterlibatannya dalam persidangan.
"Enggak ngalir ke rekening saya, enggak ada yang mengalir ke saya, saya siap (membuktikan di persidangan)," ujar Gubernur nonaktif Provinsi Aceh, Irwandi Yusuf kepada awak media.
Sebelumnya KPK telah menetapkan empat orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap pengalokasian dan penyaluran Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) tahun anggaran 2018. Empat tersangka itu yakni, Gubernur nonaktif Aceh, Irwandi Yusuf; Bupati Bener Meriah, Ahmadi; serta dua pihak swasta Hendri Yuzal yang merupakan Ajudan Irwandi dan T Syaiful Bahri.
Dalam kasus ini, Gubernur Irwandi diduga meminta jatah sebesar Rp1,5 miliar terkait fee ijon proyek-proyek pembangunan infrastruktur yang bersumber dari Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) tahun anggaran 2018. Irwandi meminta jatah tersebut kepada Bupati Bener Meriah, Ahmadi.
Namun, Bupati Ahmadi baru menyerahkan uang sebesar Rp500 Juta kepada Gubernur Irwandi lewat dua orang dekatnya yakni Hendri Yuzal dan Syaiful Bahri. Diduga, pemberian tersebut merupakan bagian komitmen fee 8 persen yang menjadi bagian untuk pejabat di Pemerintah Aceh.
Sebagai pihak penerima suap, Irwandi Yusuf, Hendri Yusuf, dan Syaiful Bahri disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara, Ahmadi sebagai pihak pemberi disangka melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.