Oleh: Tgk Khairul Amri, kandidat Doktor pada Fakultas Pusat Penyelidikan Mazhab Syafi'i - Universitas Sultan Sharif Ali (UNISSA) Brunei ...
Oleh: Tgk Khairul Amri, kandidat Doktor pada Fakultas Pusat Penyelidikan Mazhab Syafi'i - Universitas Sultan Sharif Ali (UNISSA) Brunei Darussalam. Sabtu 26 Agustus 2023.
Banda Aceh/liputaninvestigasi.com - Deklarasi Partai Adil Sejahtera (PAS) Aceh dalam bentuk “Syukran dan Peunyata Lahee” di Makam Malikussaleh pada 22 Febuary 2023 lalu, dihadiri oleh banyak ulama kharismatik Aceh. Mulai dari Abuya Mawardi Waly, Abu Mudi, Tu Sop Jeunieb, Ayah Cot Trueng, Abu Lamkawe dan banyak ulama-ulama lainnya juga hadir.
Dalam acara tersebut, ulama-ulama kharismatik Aceh tidak hanya hadir sebagai tamu undangan, sebab mereka adalah pendiri PAS Aceh. Jadi mereka hadir dalam acara itu, karena memang adalah acara para ulama untuk masyarakat Aceh. Bahwa mereka telah merintis kelahiran partai PAS Aceh dari nol untuk dipersembahkan kepada masyarakat Aceh menjadi jalan perjuangan.
Warga Aceh terbelah antara mendukung dan tidak mendukung ulama berpolitik. Namun demikian, terlepas ada yang mendukung dan tidak, kelahiran partai politik yang “dibidani” oleh para ulama Aceh ini adalah fakta yang dapat kita cermati dan kita renungkan. Mengapa para ulama Aceh “Kembali terjun” ke dalam gelanggang politik praktis di Aceh.
Jika sebelumnya para ulama hanya “dimanfaatkan” oleh para politisi untuk mendapatkan suara ummat, maka kali ini para ulama-ulama di Aceh - yang banyak di antaranya mendukung PAS Aceh ini – telah memiliki kenderaan politik sendiri yang dapat diatur oleh para ulama.
Artinya para elit politik yang biasanya hanya menjadikan para ulama sebagai sarana meraup suara tidak akan begitu leluasa lagi melakukannya aksi-aksinya. Biasanya mereka hanya perlu ulama untuk mendulang suara, namun nasehat-nasehat ulama tidak dijalankan dalam kerja-kerja politik mereka baik di eksekutif maupun di legislatif.
Kali ini, para ulama di Aceh yang mendukung perjuangan PAS Aceh tentu akan mendorong kemenangan PAS dalam Pemilu baik tingkat eksekutif maupun legislatif. Tentu bukan ulama-ulama kharismatik itu sendiri yang akan menjadi calon-calon Gubernur, Bupati, atau calon legislatif.
Namun para ulama kharismatik ini tentu arahnya adalah akan mendorong orang-orang yang dipercayakan dapat menjalankan nasehat-nasehat ulama di legislatif dan eksekutif nantinya. Tujuannya adalah memperbaiki Aceh sebisa mungkin. Melakukan apa yang bisa dilakukan di tengah fenomena kerusakan dimana politik Aceh sangat jauh dari semangat Islam dan penuh dengan ketimpangan.
Menurut yang kita kaji dan telaah, PAS Aceh ini secara sistem menjadikan para ulama sebagai “Ahlulhilli wal ‘Aqdi” dalam wadah “Majelis Nashihin” dan “Majelis Mustasyar”. Struktur kepengurusan PAS Aceh ini berada di tangan para ulama-ulama dibawah Majelis Mustasyar.
Siapa yang menjadi pengurus adalah berdasarkan arahan dari Majelis Mustasyar. Begitu juga siapa yang akan menjadi Calon Gubernur, Bupati maupun Legislatif di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Jadi nantinya wakil-wakil rakyat dan eksekutif dari partai ini akan menjadi representasi dari suara ulama untuk memperbaiki Aceh. Mereka semua harus bekerja di bawah arahan para ulama.
Secara AD/ART Partai, PAS Aceh memang memberikan kewenangan dan otoritas yang besar bagi para ulama. Dengan peran ini, para ulama sebenarnya sedang ingin memberikan arah jalan untuk politik Aceh agar senantiasa di jalan Islam. Kebijakan-kebijakan para elit politik dan penguasa di Aceh semestinya dapat sepenuhnya memihak rakyat dengan keadilan. Tapi cita-cita ini agaknya semakin jauh dari harapan sehingga keresahan inilah yang agaknya telah mendorong ulama-ulama Aceh kembali ke gelanggang politik.
Maka tidak heran jika hari ini kita melihat para ulama telah terjun ke gelanggang politik praktis. Peran ini sebenarnya adalah lanjutan dari peran para ulama terdahulu hingga ke Rasulullah Saw. Rasulullah Saw dan para sahabat yang membawa Islam adalah juga politisi yang mengatur “Negara”. Begitu juga ulama-ulama setelahnya tidak sedikit di antara mereka yang juga berperan sebagai penguasa. Bahkan bukan saja menjadi politisi dan mengatur negara, para ulama terdahulu bahkan ikut berperan dalam mengusir penjajah.
Peran ulama dalam sejarah memang sangat dinamis. Di satu waktu mereka menjadi qadhi-qadhi atau hakim kerajaan tatkala pemerintahannya pro Islam. Tapi di lain waktu, mereka sendiri yang memegang kendali pemerintahan agar senantiasa berada di jalan Islam. Itu adalah fakta-fakta sejarah tentang dinamisnya peran ulama.||Rls-NB