liputaninvestigasi.com - Staf kepresidenan di lingkungan Istana dinilai lalai, karena tidak memberi masukan yang benar kepada sang presid...
liputaninvestigasi.com - Staf kepresidenan di lingkungan Istana dinilai lalai, karena tidak memberi masukan yang benar kepada sang presiden. Pasalnya, Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2020 sebagai acuan APBN Perubahan 2020. Padahal, pembahasan APBN harus melalui Undang-Undang (UU) bukan Perpres seperti diamanatkan UUD NRI Tahun 1945 Pasal 23.
Sekali lagi Anggota DPR RI mengkritik dikeluarkannya Perpres untuk menggantikan UU APBN 2020 yang lalu. Kali ini datang dari Anggota Komisi XI DPR RI Achmad Hafisz Tohir dalam keterangan persnya, Selasa (21/4/2020). Ia menyalahkan para staf di lingkungan presiden yang mungkin memberi masukan yang tidak tepat. “Saya sangat menyayangkan jika para ahli hukum di seputar Istana tidak memberi masukan yang tepat bagi Presiden kita sehingga terbit Perpres APBN-P 2020,” analisanya.
Menurut politisi PAN tersebut, ini bisa menjadi preseden yang kurang baik bagi tata kelola negara yang baik dan benar. Apalagi jika ini dibaca rakyat. Seolah-olah yang dilakukan Presiden inskonstitusional. Padahal, sekali lagi mungkin karena kelalaian para stafnya. Hafisz kemudian mengutip Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 bahwa APBN direncanakan oleh presiden dan dibahas bersama DPR. Artinya, setelah rancangan APBN disusun pemerintah, maka rancangan tersebut harus dibahas bersama parlemen.
Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 juga menegaskan, APBN ditetapkan melalui UU. Jadi, APBN bukan ditetapkan melalui Perpres. Terbitnya Perpres 54/2020 tentag Perubahan Postur dan Rincian APBN 2020 berpotensi melanggar konstitusi, apalagi aturan Perppu-nya sendiri yang menjadi dasar Perpres tersebut belum disetujui DPR. “Karena Perppu Nomor 1 Tahun 2020 belum dibahas DPR, tentu ini akan menjadi masalah besar bagi pemerintahan Jokowi. Perppu tersebut setelah dibahas, ternyata ditolak DPR, maka landasan penerbitan Pepres jadi tidak berkekuatan hukum,” paparnya.
Dijelaskan legislator dapil Sumatera Selatan I itu, potensi pelanggaran ini meliputi UUD 1945, UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dan melanggar prinsip dasar ketatanegaraan mengenai Trias Politica yang membagi kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dalam pembagian kekuasaan tersebut, diatur Pemerintah bersama-sama DPR menetapkan APBN. Sementara jika melalui Perpres, Pemerintah tidak melibatkan DPR, ini sama saja mereduksi satu dari tiga fungsi DPR, yakni fungsi anggaran yang dijamin konstitusi.
Sementara di sisi lain, lanjut Wakil Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI ersebut, DPR RI sudah menerima ajuan pemerintah terkait RUU Omnibus Law. Namun, APBN-P 2020 justru tidak dimintakan pemerintah untuk dibahas. Tentu ini menimbulkan vested interest (kepentingan sepihak) yang berlebihan.
“Sesuai UUD 1945, kami tetap meminta pemerintah untuk segera mengajukan APBN-P 2020 kepada DPR. Insya Allah DPR bisa segera membahas perubahan itu pada kesempatan pertama. Mengingat pemerintah selama pembahasan UU APBN-P ini, masih bisa menggunakan sisa anggaran (SAL) dan SILPA dari APBN sebelumnya sekitra Rp 270 triliun,” imbuh Wakil Ketua Umum PAN itu.
Ditambahkan Hafisz, PAN dalam kongresnya tahun 2020 ini mengamanatkan, memberi dukungan kepada Pemerintah dalam konteks positif. “Kami sebagai mitra yang baik tentu selalu memberi masukan yang konstruktif dan akan meluruskan jika ada yang salah, serta mendukung tanpa pamrih jika benar,” tutupnya.