liputaninvestigasi.com - Lembaga Legislatif Aceh dengan sebutan DPRA merupakan bagian dari Pemerintahan Aceh laksana sekeping dari dua si...
liputaninvestigasi.com - Lembaga Legislatif Aceh dengan sebutan DPRA merupakan bagian dari Pemerintahan Aceh laksana sekeping dari dua sisi, sisi sebelah Pemerintah Aceh dan sisi lainnya adalah DPRA yang merupakan mitra sejajar. Minggu 15 Maret 2020.
Anggota DPRA sejak dilantik pada tanggal 30 September untuk masa jabatan tahun 2019-2024, telah berusia 167 hari. Langkah awal sebagai Lembaga Dewan ini mengagendakan Pelantikan Pimpinan Definitif, menyusun Peraturan Tata Tertib DPRA, mengumumkan penetapan fraksi-fraksi dan penetapan Anggota Alat Kelengkapan Dewan (AKD).
Terkait dengan pembahasan dan penyusunan Tata Tertib DPRA berlangsung dinamis mengingat kolaborasi anggota Dewan saat ini terjadi kubu Koalisi Aceh Bermartabat (KAB) dengan 46 Kursi dan Non KAB dengan 35 Kursi. Setelah mendapat hasil fasilitasi Peraturan Tatib dari Dirjen. Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri R.I, sehingga telah di paripurnakan pada penghujung tahun yaitu tanggal 31 Desember 2019.
Selanjutnya memasuki babak kedua yang krusial, dimana pengisian anggota dewan dalam setiap Komisi sesuai dengan Pasal 79 ayat (3) Peraturan Tatib DPR Aceh, bahwa pengisian anggota Dewan ke dalam setiap komisi di atur dengan cara perimbangan dan pemerataan. Rupanya dari kubu Non KAB melakukan penumpukan pada Komisi V dan VI, disini jelas nampak kecurangan secara sepihak, melakukan upaya penghadangan langkah-langkah kerja kedewanan.
Setelah rapat Para Pimpinan Fraksi beberapa kali dengan Pimpinan Dewan, belum juga menghasil solusi yang tepat. Akibat dari pada kasus tersebut Paripurna pengesahan susunan Anggota Komisi-Komisi pada tanggal 17 Januari 2020, tidak membaca lagi Anggota Fraksi yang di tumpuk pada Komisi V dan VI tersebut. Akibat dari dinamika politik di Gedung DPRA di jalan Tgk. H. M. Daud Beureueh ini, telah menyeret peran Eksekutif yaitu Pemerintah Aceh dibawah Komando Plt. Gubernur Aceh.
Upaya menghadang langkah-langkah kerja Lembaga Legislatif ini oleh pihak Pemerintah Aceh yaitu :
1. Tidak menandatangani dan tidak melembar daerahkan Peraturan Tata Tertib DPRA, bahkan mengembalikan peraturan tersebut ke lembaga Dewan.
2. Menolak Fungsi DPRA sebagai Fungsi Pengawasan, adapun hal yang di tolak yaitu, permintaan Lembaga Dewan kepada Pihak Eksekutif untuk menyerahkan Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) APBA 2020, unsur kesengajaan ini di jawab oleh bawahan Plt. Gubernur yaitu Sekreratis Daerah Aceh dengan alasan tidak penting untuk diserahkan dokumen tersebut. Sehingga denyut jantung Lembaga Dewan semakin tinggi dan kuping semakin panas, karena sikap Eksekutif semakin menjadi-jadi dengan mengolok-olok Lembaga Dewan yang terhormat ini.
3. Menolak Fungsi Legislasi, Badan Legislasi DPRA telah meminta melalui Pimpinan Dewan kepada Plt. Gubernur untuk menyerahkan judul-judul Rancangan Qanun yang akan bahas bersama dengan Legislatif menjadi Program Legislasi Aceh tahun 2019-2024. Surat pertama yang dikirim ke pihak eksekutif belum dapat dipenuhi Undangan Pimpinan Dewan, tapi kemudian mengirim sejumlah usulan judul Rancangan Qanun, menimbang bahwa dengan mengirim judul Rancangan Qanun, kami menganggap kondisi kisruh AKD menurun ketegangan, sehingga kami melayangkan surat kedua kali ke pimpinan Dewan untuk diteruskan ke Plt. Gubernur Aceh, agar dapat mengirim SKPA terkait untuk di bahas bersama dengan Badan Legislasi DPRA, tapi apa yang terjadi? pihak Eksekutif membalas suratnya di delegasikan pada Sekretaris Daerah Aceh untuk menjawab permintaan Ketua Dewan, semestinya Plt. Gubernur dapat menjawabnya dengan legecy dan hal ini kami melihat sudah dua fungsi utama Lembaga Dewan diabaikan.
4. Fungsi Budgeting, yaitu penyusunan Anggaran antara Eksekutif dan Legislatif yang berpedoman kepada kalender anggaran, sehingga jadwal pembahasan anggaran tidak lagi mengalami hambatan, karena Kendala apa pun yang terjadi akan mengakibatkan terulangnya drama Pergub APBA 2018, yang berujung dengan tragedi yang memilukan Rakyat Aceh, anggaran tidak dapat dirasakan oleh Rakyatnya. Pemimpinnya di Barakuda kan ke KPK. Sehingga angka kemiskinan semakin meningkat akibat kisruh dua lembaga ini.
Pada tulisan ini ingin kami kupas bahwa, lampu kuning Pemerintah Aceh dan rakyat Aceh pada persimpangan drama episode ke-2,
kerugian demi kerugian bagi rakyat akan terus bergulir, yaitu peran pengawasan dari Lembaga DPRA, menjadi hambatan karena telah beberapa kali SKPA di undang untuk membahas bersama dengan Komisi-Komisi di DPRA tidak mau hadir, disini unsur kesengajaan pelecehan Lembaga Legislatif, selanjutnya terkait sikap ogah, tidak perlu dengan lembaga Dewan terkait pembahasan Rancangan Qanun, yang kasus sedang terjadi.
Perlu kita cermati salah satu kasus yang mendera bagi masyarakat yang disebut Kaum Dhuafa, dimana akibat masih terbatasnya tata kerja Baitul Mal dengan pedoman Qanun Baital Mal Aceh selama ini sangat terbatas ruang gerak, sehingga tidak dapat mengeksekusi pelaksanaan pembangunan Rumah Dhuafa, sebagaimana anggaran pembangunan Rumah Dhuafa Tahun Anggaran 2018 ada sebanyak 1.000 unit tidak dapat dikerjakan, ditambah lagi pada tahun anggaran 2019 sebanyak 100 unit sehingga pada Tahun 2019 kemarin semestinya sudah diselesaikan 1.100 unit. T
Tetapi akibat regulasi yang membatasi ruang gerak berkerjanya Baitul Mal Aceh ini, semestinya Rasa Sayang kepada Kaum Dhuafa harus segera diselesaikan dengan melakukan Revisi Qanun Baital Mal pada tahun 2020 ini.
Jika benturan antara Eksekutif dan Legislatif masih terjadi maka saya yakin persoalan bantuan pembangunan Rumah Dhuafa pada tahun 2020 hanya tinggal di atas kertas, ujungnya jadi Silpa lagi. Dilain pihak kita ketahui bahwa dengan keputusan ingkrah nya Keputusan Mahkamah Agung R.I terkait kasasi Gubernur Non Aktif drh. H. Irwandi Yusuf, M.Sc di tolak oleh MA, maka dengan sendirinya Pihak DPRA melakukan Sidang Paripurna untuk membaca putusan MA bahwa drh. H. Irwandi Yusuf, M.Sc diberhentikan sebagai Gubernur dan selanjutnya menerima surat dari Menteri Dalam Negeri untuk menetapkan Ir. H. Nova Iriansyah, MT sebagai Gubernur Aceh yang definitif.
Jika drama ini mengalami kemacetan komunikasi politik, maka Nanggroe Aceh nyoe belum ada Gubernur Aceh yang definitif untuk jangka waktu yang tidak jelas.
Melalui ruang media ini kami mendorong perlunya komunikasi politik sesama anak bangsa, kalau di pertahankan egois ini maka siapa yang menang jadi arang, yang kalah jadi abu, Rakyat Aceh Pajòh Arang, U'et Abê.
Penulis: Ir. H. Azhar Abdurrahman, Ketua Badan Legislasi DPRA.