Banda Aceh/liputaninvestigasi.com - Penetapan ganja sebagai narkotika golongan I sebagaimana termaktub dalam UU Narkotika terlihat sarat ...
Banda Aceh/liputaninvestigasi.com - Penetapan ganja sebagai narkotika golongan I sebagaimana termaktub dalam UU Narkotika terlihat sarat kepentingan persaingan dagang untuk melenyapkan komoditi unggulan yang mudah tumbuh di Aceh tersebut dari peredaran perdagangan dunia. Padahal selain mudah tumbuh di bumi Aceh, sejak lama ganja di memiliki manfaat yang relatif banyak didunia medis seperti sebagai obat kanker, penyakit glaukoma, obat mencegah kejang karena epilepsi, obat yang dapat mematikan beberapa sel kanker, mengurangi nyeri kronis, bahkan Journal of the American Medical Association pada Januari 2012 menyebutkan bahwa ganja tidak merusak fungsi paru-paru, bahan yang satu ini bisa meningkatkan kapasitas paru-paru dan sebagainya.
"Selama ini opini negatif dan mudhoratnya terus digembor-gemborkan kepada publik. Padahal jika kita telusuri ada manfaat-manfaat ganja dalam kebutuhan medis dan sebagainya seakan-akan sengaja ditenggelamkan dengan mengembangkan image negatif secara masif. Makanya, kita menilai semacam ada persekongkolan bisnis yang terus melenyapkan fungsi dan manfaat penggunaan suatu komoditi yaitu hanya untuk bidang tertentu seperti medis, sehingga di negara yang sumber komoditi tersebut dapat berkembang pesat menganggap komoditi tersebut adalah barang yang sangat-sangat dilarang," ungkap ketua Yayasan Aceh Kreatif (AK), Delky Nofrizal Qutni kepada media, Jum'at (31/01/2020).
Jika kita lihat, kata Delky, Pasal 6 ayat (1) UU Narkotika, Narkotika digolongkan ke dalam Narkotika golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Jadi narkotika kelas I tidak digunakan untuk kebutuhan lain sekalipun.
“Berdasarkan pasal 6 ayat 1 UU Narkotika tersebut, dapat kita simpulkan bahwa ganja tidak dapat dikategorikan sebagai narkotika kelas I. Karena ganja atau mariyuana berasal dari tanaman bernama Cannabis sativa, tanaman ini disebut memiliki 100 bahan kimia berbeda yang dinamakan cannabinoid. Masing-masing bahannya, memiliki efek berbeda pada tubuh. Para ahli juga menyebutkan bahwa Delta-9-tetrahydrocannabinol (THC) dan cannabidol (CBD) merupakan bahan kimia utama yang kerap digunakan dalam pengobatan. Jadi, jika terbukti ganja bisa digunakan untuk pengobatan, maka ganja tak bisa serta merta dikategorikan sebagai narkotika kelas I. Jadi, penetapan ganja sebagai narkotika kelas I ini jelas-jelas tidak logis dan keliru," bebernya.
Kekeliruan itu semakin jelas pasca 2 tahun UU Narkotika disahkan, BNN pada tahun 2011 BNN menyatakan, belum pernah dilakukan penelitian khusus tentang tanaman ganja tersebut. “Berdasarkan surat Badan Narkotika Nasional Nomor : B/28724/X/2011/BNN Tanggal 06 Oktober 2011 perihal data penelitian mengenai tanaman ganja disebutkan, bahwa BNN sampai saat itu belum pernah melakukan penelitian khusus tentang tanaman ganja. Sehingga disinyalir penjelasan pasal pasal 6 huruf (1) ayat (a) UU narkotika golongan I itu patut dipertanyakan, kan tidak logis jika penelitian dan kajian akademisnya belum dilakukan secara maksimal tapi UU Narkotika sudah disahkan," ucapnya.
Masih kata Delky, sejauh ini yang dilarang tersebut adalah penyalahgunaan, sehingga jika suatu komoditi seperti ganja disalahgunakan maka tentunya akan menghasilkan dampak negatif bagi seseorang. "Itu memang sudah demikian, jangankan penggunaan ganja secara berlebihan atau disalahgunakan, makanan sejenis tape saja kalau dimakan berlebihan akan membuat orang mabuk. Jadi, penggunaan ganja untuk kebutuhan yang tepat untuk kebutuhan medis misalkan dengan kadar tertentu sebenarnya justru sebagai obat. Tinggal lagi perlu dilakukan lebih lanjut terkait pengaturan regulasi agar komoditi tersebut tidak disalahgunakan, tinggal diatur regulasinya," lanjutnya.
Apalagi, kata Delky, potensi pengembangan sentra produksi ganja untuk kebutuhan medis memiliki peluang ekspor yang lumayan bagus bagi Indonesia khususnya Aceh. "Selama ini hal yang sangat merusak Indonesia kehadiran Shabu, morphin dan zat berbahaya lainnya yang diimpor secara ilegal dari negara luar. Sementara, negara kita sibuk menyalahkan ganja yang pada notabenenya jika digunakan dengan benar masih memiliki manfaat dan bernilai ekspor, apalagi kualitas ganja dari Indonesia misalnya Aceh jauh lebih bagus dari manca negara. Makanya kita lihat ini semacam ada permainan bisnis untuk melenyapkan komoditi ganja, sehingga yang selalu diumbar-umbar aspek negatifnya saja," imbuhnya.
Dia meminta pemerintah agar segera melakukan pengkajian dan menghadirkan regulasi yang benar-benar tepat sehingga ganja dapat dijadikan komoditi diekspor.
"Langkahnya pemerintah harus melakukan peninjauan ulang terkait penetapan ganja sebagai narkotika kelas I, melakukan pengkajian terkait manfaat ganja untuk medis dan kebutuhan lainnya, mengatur regulasi terkait pengawasan untuk meminimalisir penyalahgunaan, menetapkan kawasan budidaya potensial dan melakukan ekspor atau menghadirkan industri farmasi pengolahan produk turunan ganja dan seterusnya," pungkasnya.
Ia menjelaskan, pengobatan tradisional menggunakan ganja di Aceh masih ada hingga saat ini. Salah satu contohnya adalah untuk mengobati penyakit “manis darah”, masyarakat di sana menggunakan bagian akar dari tanaman ganja dengan cara direbus menggunakan air kemudian diminum. Belum lagi dengan pemanfaatan lainnya, misal untuk penyedap masakan dan mengempukkan daging menggunakan biji ganja. Hal tersebut sudah berlangsung turun temurun dan menjadi bagian kehidupan masyarakat Aceh yang selama ini samar terdengar, sudah lumrah di telinga awam tetapi terkesan tabu untuk dibicarakan di khalayak umum.
Sebenarnya pembenargunaan ganja di Aceh sudah dikenal oleh masyarakat sejak ratusan tahun silam. Pada tahun 1937 Pemerintah Amerika Serikat melarang penanaman ganja. Namun seiring meletusnya Perang Dunia II, mereka memerlukan untuk menanam ganja sehingga pada awal tahun 1942 melalui Departemen Dalam Negerinya mengeluarkan kampanye Hemp for Victory.
Hemp for Victory merupakan himbauan dari Dept. Dalam Negeri AS kepada petaninya untuk menanam ganja yang dibuat dalam bentuk film. Di awal-awal film narator menyebutkan bahwa mereka perlu untuk menanam hemp lagi untuk kebutuhan militer karena selama ini kawasan yang menyediakan hemp terbesar telah dikuasai oleh Jepang. Dalam narasi tersebut narator film menunjuk sebuah peta wilayah penyedia hemp terbesar yakni seluruh kepulauan Nusantara.
Petunjuk lain terdapat dalam buku yang ditulis Jack Harrer berjudul The Emperor Wears No Clothes, Jack Harrer menampilkan perangko tahun 1930-an dengan ilustrasi ibu-ibu sedang menjemur serat hemp di North Kalimantan Republic. Hemp sendiri mengacu pada sebutan ganja untuk kebutuhan industri.
Setelah tahun 1945 tidak muncul pemberitaan tentang ganja. Baru muncul pada pertengahan tahun 1976 dalam bentuk penangkapan pengguna-pengedar ganja di Indonesia.
“(Setelah tahun 1976) Tidak ada pemberitaan tentang ganja dari sisi budaya dan yang bersifat anthropologis maupun pemanfaatannya. Yang ada adalah berita kriminal tentang ganja. Sehingga pembacaan sederhana tentang budaya ganja di Indonesia adalah budaya kriminalisasi, penangkapan, pembakaran lahan tanaman ganja," ungkapnya