liputaninvestigasi.com - Perjanjian damai antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) saat ini telah memasuki 14 tahun ...
liputaninvestigasi.com - Perjanjian damai antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) saat ini telah memasuki 14 tahun lamanya. Pada 15 Agustus 2019 hampir semua kalangan di Aceh memperingati hari Perdamaiaan atau yang biasa dikenal MoU Helsinski.
Dengan adanya MoU Helsinki tersebut, maka Aceh memasuki babak baru, dimana perang yang berkepanjangan telah berakhir. Maka disepakatilah butir-butir MoU yang kemudian diturunkan dalam UU No. 11 tahun 2006 yaitu Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA)
Dalam UUPA tersebut diatur berbagai hal tentang Pemerintahan Aceh termasuk tentang Bendera, Lambang dan Hymne.
Pasal 1.1.5 MoU Helsinki menyebutkan bahwa Aceh memiliki hak untuk menggunakan simbol-simbol wilayah, termasuk bendera, lambang, dan himne. Butir MoU ini selanjutnya diperkuat oleh Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh atau disebut dengan UUPA.
Namun yang terjadi, butir perjanjian MoU tersebut belum sepenuhnya bisa diwujudkan karena selalu terkendala dengan aturan Pemerintah Pusat, hanya himne yang telah disetujui sedangkan bendera masih belum ada kejelasan.
Berbagai kalangan terus menyuarakan supaya bendera segera disahkan. Seperti halnya pada Kamis 15 Agustus 2019, sejumlah mahasiswa melakukan aksi di depan Gedung DPR Aceh, meminta untuk direalisasikannya butir-butir MoU Helsinki dan memaksa mengibarkan berdera Aceh di gedung DPRA.
Namun pada saat mahasiswa hendak mengibarkan bendera bintang bulan yang menjadi simbol provinsi Aceh melalui Qanun No. 3 Tahun 2013 di depan gedung DPR Aceh terjadi chaos antara pihak keamanan dengan peserta aksi.
Selain mahasiswa, salah satu anggota DPRA Aceh Azhari Cage juga menjadi korban pemukulan dari sejumlah oknum kepolisian. Kejadian tersebut terjadi ketika Cage ingin melerai pihak kepolisian tersebut saat membubarkan mahasiswa.
Atas kejadian tersebut, sejumlah pihak mengecam keras tindakan yang dilakukan pihak kepolisian, salah satunya mendapat protes dari politisi Partai Aceh Kabupaten Bireuen Zulkarnaini.
Zulkarnaini yang sering disapa Zoel SoPAN menyayangkan kejadian tersebut, menurutnya apa yang dilakukan oleh oknum kepolisian tersebut sangat bertolak belakang dengan semangat damai yang sedang diperingati oleh seluruh masyarakat Aceh.
"Aksi yang dilakukan oleh mahasiswa Aceh adalah sebagai salah satu perwujudan kebebasan berpendapat dan berserikat yang diatur di Negara kita. Seharusnya pihak kepolisian tidak bersikap represif apalagi sampai memukul," ujar Politisi PA tersebut kepada media ini. Jum'at 16 Agustus 2019.
Selain itu Zoel SoPAN juga mengecam terkait pemukulan Azhari Cage yang juga mantan GAM yang saat ini menjabat sebagai salah seorang anggota DPRA.
"Publik sangat kecewa dan mengecam tindakan bar-barian pihak kepolisian yang telah melecehkan marwah Parlemen Aceh. Pemukulan anggota DPRA itu tindakan yang sudah diluar kewajaran, maka harus diusut tuntas dan Kapolri harus segera merespon kasus ini," lanjut Zoel SoPAN.
Anggota dewan DPRK Bireuen terpilih tersebut meminta Kapolri untuk segera bertindak mengingat sentimen sosial antara Aceh dan pusat sudah mulai mengemuka, maka sikap represif anggota kepolisian tersebut bisa kembali menambah panas sentimen tersebut.
Menurutnya kunci langgengnya perdamaian Aceh itu ada pada sikap atau perlakuan pemerintah pusat kepada Aceh.
"Dan yang harus di ingat bahwa bagi masyarakat Aceh Marwah Bangsa dan Agama adalah dua hal yang selalu dibawa mati," tutupnya.