LHOKSEUMAWE/liputaninvestigasi.com - Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat (SMUR) Lhokseumawe mendesak DPRA agar meninjau kembali wacana unt...
LHOKSEUMAWE/liputaninvestigasi.com - Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat (SMUR) Lhokseumawe mendesak DPRA agar meninjau kembali wacana untuk di legalkan poligami di Aceh sebagai bentuk cara untuk melindungi wanita Aceh.
Ketua SMUR Lhokseumawe Rizqi Rahmatullah menegaskan bahwa ada persoalan yang harus diperhatikan oleh DPRA agar segera menuntaskan qanun-qanun prioritas yang belum dibahas dan direalisasikan, jangan terlalu asyik mencari sensasi dan mencoba mengalihkan isu dengan wacana legalisasi poligami.
Menurutnya, Jika memang DPRA mempunyai niat untuk melindungi perempuan maka poligami ini bukanlah solusi untuk melindungi wanita, malah ini bentuk penindasan gaya baru, dimana mendorong lelaki untuk mempunyai istri lebih dari satu.
"Saya rasa ini satu langkah untuk para pejabat untuk beristri lebih, pada dasarnya pejahat poligami mayoritas adalah elit politik Aceh, walaupun secara agama diperbolehkan lebih dari satu, secara Negara ini adalah epidemic, sehingga korupsi merajalela dan tidak menjamin kesejahteraan," ungkapnya
Rizki juga menyebutkan, jika memang DPRA mempunyai niat untuk melindungi perempuan bukan dengan cara berpoligami, tetapi dengan membuat qanun ekualitas kesetaraan hak dan kewajiban terhadap perempuan. Serta mendesak DPRI RI untuk segera mengesahkan RUU PKS untuk meminimalisir angka pelecehan seksual.
"Seharusnya DPRA dimasa detik-detik berakhir masa jabatan, segera menyelesaikan dan membahas qanun-qanun yang belum terealisasikan seperti qanun Pertanahan," katanya
Ia menambahkan, DPRA telah memasukkan Qanun tentang Pertanahan menjadi qanun prioritas untuk dibahas di tahun 2017 namun nyatanya sampai hari ini belum dibahas, dan ini adalah persoalan urgent yang semestinya harus disahkan, mengingat konflik agraria semakin mengakar di Aceh.
"Keberadaan Qanun Aceh tentang Pertanahan ini adalah solusi dalam menyelesaikan berbagai konflik pertanahan di Aceh. Dari 2005-2016, ada 76 kasus konflik pertanahan di Aceh yang belum terselesaikan dan terus meningkat," demikian ungkap Rizki