Banda Aceh/liputaninvestigasi.com - Ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh, Safaruddin SH, meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk ...
Banda Aceh/liputaninvestigasi.com - Ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh, Safaruddin SH, meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menelusuri permasalahan pembebasan lahan pembangunan Bendungan Krueng Keureto seluas 80 hekter.
Uang pembebasan lahan terhadap 80 hekter tersebut oleh Pemerintah Aceh di bayarkan ke PT Setya Ahung selaku pemegang HGU, kemudian atas tekanan Muspida Aceh Utara, pada 26 Februari 2016 PT Setya Agung mentransfer uang tersebut kepada 62 masyarakat dengan harga Rp.11.000,-/meter, dengan total 8,8 milyar, Banda Aceh, minggu, (24/3/2019).
Uang di rekening masyarakat tersebut pada saat itu tidak bisa di ambil langsung karena buku tabungannya di pegang oleh BNI Syariah Lhokseumawe dan baru di bagikan pada 18 Maret 2019, menurut Safar ini aneh kenapa BNI tidak langsung memberikan buku tabungan pemilik rekeningya.
“kami meminta KPK untuk menelusuri proses pembebasan lahan pembangunan Waduk Kerto, lahan tersebut telah di transfer ke rekening masyarakat sejak 2016 lalu, namun baru diberikan uangnya pada maret 2019 ini, tentu ada yang aneh dalam hal ini, apalagi tindakan BNI Syariah Lhokseumawe yang menahan buku tabungan pemilik rekening selama bertahun, perlu di telusuri tentu ada permintaan untuk menahan buku tabungan tersebut sehingga masyarakat tidak bisa manarik uangnya” terang Safar.
YARA menemukan kejanggalan terhadap pembayaran dana ganti rugi lahan tersebut sejumlah Rp 8 milyar lebih, antara lain, uang yang di terima oleh masyarakat tersebut di transfer dari rekening PT Setya Agung yang merupakan pemilik sertifikat Hak Guna Usaha (HGU), kemudian pada 18 Mei 2016, Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh, bahkan pernah menyurati Gubernur Aceh terkait dengan adanya dugaan penyimpangan pada pembebasan tanah untuk kepentingan umum pada lokasi HGU Nomor 5 PT Setya Agung di Kabupaten Aceh Utara.
“jika itu lahan HGU kenapa uangnya di berikan kepada masyarakat, jika lahannya milik masyarakat mengapa uang di transfer oleh Pemerintah Aceh melalui Rekening PT Setya Agung, tentu ini perlu di telusuri karena menyangkut keuangan Negara, bahkan Kejati Aceh pernah menyurati Gubernur terkait dengan adanya dugaan penyimpangan dalam proses ganti rugi ini pada tahun 2016”, kata Safar.
Salah satu yang di persoalkan dalam surat tersebut adalah tentang penganggaran dana pembebasan lahan yang terkena dalam areal HGU PT Setya Agung yang akan berakhir masanya pada 15 Desember 2015 dan akan beralih menjadi lahan Negara dan PT Setya Agung juga telah dengan sukarela menyerahkan lahannya, namun kurang dari dua minggu sebelum HGU berakhir telah di keluarkan penilaian harga ganti rugi atas tanah oleh Kantor KJPP Yanuar Bey & Rekan dengan taksiran Rp.11.000 per meter.
Sehingga total yang harus di bayarkan oleh Pemerintah Aceh kepada PT Setya Agung sebasar 8.8 Milyar lebih yang kemudian uang tersebut di bayarkan kepada masyarakat penggarap, padahal uang tersebut pada awalnya merupakan untuk ganti rugi pembebasan lahan HGU dengan di buktikan pembayaran dari Pemerintah Aceh ke Rekening PT Setya Agung sebesar 8,8 milyar. "Kami menerima informasi pada hari senin lalu, 18/3 telah di bagikan kepada masyarakat yang di masukkan sebagai penggarap di lahan HGU tersebut." Jelasnya
YARA menilai ada dugaan permainan dalam pembebasan lahan ini, karena mengapa Pemerintah Aceh mengganti rugi lahan HGU yang akan berakhir, sementara lahan tersebut bisa di ambil tanpa membayar ganti rugi sampai milyaran rupiah, dan mengapa PT Setya Agung menjual HGU kepada pemerintah, ini yang perlu di telusuri oleh KPK.
“terakhir kami mendapat informasi bahwa dana tersebut telah di bagikan kepada masyarakat setelah sekian lama, KPK perlu segera menelusuri proses ganti rugi ini, apalagi menyangkut dengan uang Negara milyaran rupiah, kami akan berikan dokumen proses tersebut ke KPK”, tutup Safar.(Alan)